August 11, 2010

SEJARAH DEMAK (PART 2)

Menyerang Majapahit
BTJ berkisah, Raden Patah menampik untuk jadi pengganti Arya Damar sebagai bupati Palembang. Ia, ditemani Raden Kusen, lalu kabur dari Palembang menuju Jawa.Begitu tiba di Jawa, kedua saudara berbeda ayah itu berguru pada Sunan Ngampel di dekat Surabaya. Raden Patah lalu pindah ke arah barat di sekitar Jawa Tengah untuk membuka hutan Glagahwangi guna mendirikan sebuah pesantren. Sementara Raden Kusen mengabdi di keraton Majapahit.


Aktivitas Pesantren Glagahwangi hari ke hari semakin berkembang. Raja Brawijaya melihat perkembangan pesanten itu sebagai sebuah ancaman, kalau-kalau Raden Patah berniat berontak. Untuk itu, Brawijaya mengutus Raden Kusen, yang saat itu sudah menjabat sebagai Adipati Terung, untuk memanggil Raden Patah segera menghadap Brawijaya. Alkisah, Raden Patah pun menghadap Brawijaya. Ia akhirnya diakui sebagai putranya oleh Brawijaya. Raden Patah kemudian diangkat menjadi bupati Demak, nama baru untuk Glagahwangi, sedangkan nama ibukota Demak adalah Bintoro.


Ada pun kronik Sam Po Kong menguraikan bahwa pada 1475 Jin Bun pindah ke Demak dari Surabaya. Dua tahun kemudian, 1477, Jin Bun berhasil menaklukkan Semarang yang dibuat sebagai bawahan Demak. Penaklukan Semarang membuat Kung-ta-bu-mi resah. Akan tetapi, atas bujukan Bong Swi Hoo (diidentikkan dengan tokoh Sunan Ngampel), Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anaknya, dan meresmikan kedudukannya sebagai bupati Bing-to-lo (ejaan Cina untuk Bintoro).


Selama Brawijaya memerintah Majapahit, Raden Patah tak pernah menyerang Majapahit. Ialah Sunan Ngampel yang menasehati agar Raden Patah tetap menghormati ayahnya, Raja Majapahit itu—walau berbeda kepercayaan. BTJ dan juga Serat Kanda mengisahkan bahwa sepeninggal Sunan Ngampel, barulah Raden Patah berani menyerang Majapahit atas desakan Sunan Bonang. Sebelum Majapahit, Jim Bun telah menguasai Semarang. Dalam penyerangan ke Majapahit, Brawijaya diberitakan moksa. Untuk


Dikisahkan, yang menduduki takhta Majapahit untuk sementara adalah Sunan Giri (Raden Paku). Ia menduduki takhta selama 40 hari. Hal ini rupanya sebagai legitimasi kekuatan Islam sebagai “agama baru” atas agama Siwa-Buddha yang dianut Majapahit. Di sini perlu diperhatikan perihal moksanya Brawijaya begitu diserang anaknya sendiri, sama halnya dengan legenda Prabu Siliwangi yang juga ngahiyang (menghilang) begitu dikejar oleh anaknya, Kian Santang, karena menolak masuk Islam dalam legenda Sunda. Moksanya Brawijaya (juga ngahiyang-nya Siliwangi) memperlihatkan bahwa walau bagaimana pun kekuatan orangtua (baca: leluhur) tak bisa semena-mena dikalahkan oleh kekuatan agama baru. Ia digambarkan tak tersentuh oleh kenyataan bendawi, luput dari segala hukum fisika.
Sebelum menyerang Majapahit, terlebih dulu Jim Bun menyerang Semarang yang banyak didiami oleh etnis Tionghoa. Setelah berhasil menguasai Semarang, Jin Bun mengangkat saudara tirinya, Kin San, sebagai bupati Semarang. Sementara Gan Si Cang, diangkat menjadi kapten Tionghoa-bukan Islam di Semarang. Gan Si Cang merupakan anak dari almarhum Haji Gan Eng Cu, seorang saudagar Tionghoa yang pada tahun 1430 menjadi bupati di Tu Ma Pan, yang berada di bawah kekuasaan Majapahit.
Raja Kung Ta Bu Mi, ayah Jin Bun, gembira mendengar Semarang telah takluk. Sebagai hadiah, Jin Bun diangkat sebagai Bupati Bing Tolo dan diundang ke Majapahit.


Namun, sesampai di Majapahit Jin Bun tak mau memberi sembah pada ayahnya. Perang antara Jin Bun melawan Kung-ta-bu-mi juga diberitakan oleh kronik Sam Po Kong, yang terjadi pada 1478. Perang tersebut berlangsung setelah kematian Bong Swi Hoo (Sunan Ngampel). Akan tetapi, begitu Jin Bun menggasak ibu kota Majapahit, Kung-ta-bu-mi berhasil ditangkap dan dipindahkan ke Demak dengan terhormat. Dengan begitu, Majapahit pun menjadi wilayah bawahan Demak; yang menjadi bupati Majapahit sendiri adalah Nyoo Lay Wa, seorang Cina Muslim. Di sini, berita tertangkapnya Kung-ta-bu-mi alias Kertabumi membuat kita berpendapat bahwa kronik Cina itu lebih masuk akal dibandingkan berita BTJ dan Serat Kanda. Penulis kronik itu merasa tak terikat dengan dunia “mistik” Jawa yang memilih “menghilangkan secara gaib” Brawijaya dari pada harus menulis tertangkapnya raja itu. Brawijaya terlalu agung untuk dikatakan tertangkap, begitu menurut alam pikiran penulis BTJ dan Serat Kanda.


Pada 1485, Nyoo Lay Wa mati setelah terjadi pemberontakan kaum pribumi. Untuk itu, Jin Bun lalu mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru, yakni Pa-bu-ta-la, yang juga menantu Kung-ta-bu-mi. Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabu Natha Girindrawardhana (yang tertulis dalam Pararaton) alias Dyah Ranawijaya yang menerbitkan Prasasti Jiyu (tahun 1486) dan mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Dyah Ranawijaya juga mengeluarkan Prasasti Petak yang memuat berita mengenai perang Kadiri melawan Majapahit. Berita prasasti itu menimbulkan penafsiran kuat bahwa Majapahit tidak runtuh akibat serangan Demak pada tahun 1478, melainkan akibat serangan keluarga Girindrawardhana. Dari Prasasti itu diketahui, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya adalah putra Girindrawardhana Dyah Wijayakusuma dan cucu Girindrawardhana Dyah Wijayakarana (Sang Munggwing Jinggan). Dyah Ranawijaya (Batara Wijaya atau Bhre Wijaya) memerintah di Daha, ibukota Kediri, yang sebelumnya terletak di Keling, utara kota Majapahit.
Baik BTJ maupun Serat Kanda tidak lagi mengisahkan adanya perang Majapahit melawan Demak sesudah 1478. Padahal menurut catatan Portugis dan juga kronik Sam Po Kong, perang Demak-Majapahit terjadi lebih dari satu kali.
Kronik Cina itu menguraikan, pada 1517 Pa-bu-ta-la bekerja sama dengan bangsa asing (Portugis) di Moa-lok-sa (Malaka) sehingga mengundang kemarahan Jin Bun. Akibatnya, Jin Bun menyerang Majapahit. Pa-bu-ta-la kalah namun tetap diampuni mengingat raja itu adalah suami adiknya—istrinya adalah adik Jin Bun.
Catatan Portugis pun memerikan peperangan itu. Diberitakan, pasukan Majapahit dipimpin oleh seorang bupati Muslim dari Tuban bernama Pate Vira. Majapahit pun menyerang Giri Kedaton, salah satu sekutu Demak di Gresik. Namun, serangan itu mengalami kegagalan di mana panglimanya akhirnya masuk Islam dengan nama baru Kiai Mutalim Jagalpati.
Sepeninggal Raden Patah alias Jin Bun tahun 1518, Demak dipimpin Pangeran Sabrang Lor (versi BTJ) hingga 1521. Selanjutnya Pangeran Sabrang Lor diganti oleh Sultan Trenggana. Menurut kronik Sam Po Kong, pergantian takhta itu dimanfaatkan oleh Pa-bu-ta-la untuk kembali bekerja sama dengan Portugis di Malaka. Perang Majapahit-Demak meletus kembali tahun 1524. Pasukan Demak dipimpin oleh Sunan Ngudung, anggota Wali Sanga yang juga menjadi imam Masjid Demak. Dalam pertempuran ini Sunan Ngudung tewas di tangan Raden Kusen, adik tiri Raden Patah yang memihak Majapahit.




Artikel Terkait INSICO:

0 comments:

Post a Comment

Setelah membaca artikel ICO, kami harap memberikan sedikit ulasan tapi bukan SPAM. Terimakasih, Salam Harmoni INSICO

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More