Perang Demak-Majapahit yang terakhir terjadi pada 1527. Pasukan Demak dipimpin oleh Sunan Kudus, putra Sunan Ngudung, yang menggantikan kedudukan ayahnya dalam dewan Wali Sanga dan sebagai imam Masjid Demak. Dalam perang ini Majapahit mengalami kekalahan. Raden Kusen, Adipati Terung, ditawan secara terhormat, mengingat ia juga mertua Sunan Kudus dan adik pendiri Demak. Menurut kronik Cina, dalam perang tahun 1527 tersebut yang memimpin pasukan Demak adalah putra Tung-ka-lo (ejaan Cina untuk Trenggana), bernama Toh A Bo alias Sunan Kalijaga.
Dari berita di atas diketahui setidaknya ada dua tokoh Muslim yang memihak Majapahit, yaitu Pate Vira dan Raden Kusen. Nama Vira mungkin ejaan Portugis untuk Wira. Sedangkan Raden Kusen adalah adik tiri Raden Patah, dengan kata lain, merupakan paman Sultan Trenggana Raja Demak saat itu.
Menurut kronik Sam Po Kong, Pa-bu-ta-la meninggal dunia pada 1527 sebelum pasukan Demak merebut istana Daha. Peristiwa kekalahannya menandai berakhirnya Kerajaan Kediri. Para pengikutnya, yang menolak kekuasaan Demak, memilih pindah ke Bali.
Menurut babad dan serta, tiga hari setelah penyerbuan ke Majapahit, Raden Patah berangkat ke Ampel. Yang ditugaskan menunggu di Majapahit adalah Patih Mangkurat serta Adipati Terung. Ada pun Sunan Kudus menjaga di Demak menjadi wakil Raden Patah. Sementara itu, Sebagian pasukan Demak dan para sunan ikut ke Ampelgading. Ada pun Putri Cempa, ibu Raden Patah, diungsikan ke Bonang. Di Ampel ternyata Sunan Ampel sudah wafat. Yang ada hanya istrinya, Nyai Ageng, yang asli dari Tuban, putra Arya Teja. Setelah Sunan Ampel wafat, Nyai Agenglah yang menjadi sesepuh Ampel.
Sesampai di Ampel, Raden Patah menghaturkan sembah pada Nyai Ageng. Para sunan dan bupati bergantian menghaturkan sembah pada Nyai Ageng. Raden Patah berkata bahwa dirinya baru saja menyerbu majapahit, dan melaporkan hilangnya ayahanda, Brawijaya dan kematian Patih Majapahit. Ia berkata bahwa dirinya sudah menjadi raja seluruh Tanah Jawa dengan gelar Senapati Jimbun, lalu minta restu, agar langgeng bertakhta dan kelak keturunannya tak ada ada yang memotong takhtanya.
Menurut babad-serat itu, Nyai Ageng memarahi Jim Bun karena berdosa telah menganiaya ayahnya sendiri yang enggan masuk Islam. Karena walau bagaimana pun, Brawijaya adalah ayah Pangeran Jim Bun sendiri, yang patut dihormati meski berbeda kepercayaan. Juga Nyai Ageng memarahi Jim Bun karena telah merusak Majapahit. Nenek itu kecewa mengetahui Jim Bun berhasil dipengaruhi oleh para sunan dan bupati agar menyerang Majapahit. Ia menyuruh agar Jim Bun mencari ayahandanya yang hilang. Setelah itu Jim Bun pamit dari Ampel, menuju Sunan Bonang untuk memberi tahu Sunan itu tentang kemarahan Nyai Ageng Ampel.
Begitu diberi tahu, Sunan Bonang dalam hati merasa bersalah lalu teringat akan kebaikan Prabu Brawijaya. Namun Sunan Bonang tetap menyalahkan Brawijaya dan Patih Majapahit yang tak mau masuk Islam. Ia juga memerintahkan Jim Bun untuk tidak memikirkan perintah Nyai Ageng karena menilainya hanya sebagai pelampiasan atas kemarahan khas perempuan. Sunan itu memberikan pilihan, bila Jim Bun tetap bersiteguh menuruti Nyai Ageng, ia akan kembali saja ke Arab. Akhirnya, Jim Bun memilih untuk terus melanjutkan penyerbuan ke Majapahit. Sunan Bonang menyuruh Jim Bun memberi pilihan pada ayahnya, Brawijaya: jika masih ingin jadi raja, maka janganlah di Tanah Jawa tetapi harus di negeri lain di luar Jawa. Bahkan Sunan Giri menyuruh Brawijaya juga Adipati Ponorogo dan Adipati Pengging ditenung saja agar tak mengganggu proses pengislaman di Jawa.
Sunan Kalijaga-lah yang ditugasi Raden Patah untuk nencari Brawijaya. Brawijaya sendiri dalam pelariannya ditemani dua pamong setianya, Nayagenggong dan Sabdapalon. Konon, ketika sampai di Blambangan, Brawijaya menghilang dekat sebah mata air.
0 comments:
Post a Comment
Setelah membaca artikel ICO, kami harap memberikan sedikit ulasan tapi bukan SPAM. Terimakasih, Salam Harmoni INSICO