Identifikasi Brawijaya, Kertabumi, dan Kung-ta-bu-mi. Sebelum menjelaskan sepak terjang Raden Patah, di sini perlu dijelaskan sedikit mengenai identifikasi atas tokoh Brawijaya sebagai raja terakhir Majapahit versi BTJ dan Serat Kanda, ayah Raden Patah. Perlu ditelisik pula mengapa sumber lain menyebutkan nama yang berbeda bagi ayah Jin Bun itu.
Nama Brawijaya begitu populer dalam masyarakat Jawa namun tidak memiliki bukti sejarah yang kuat, misalnya prasasti, untuk membuktikan kebenarannya. Nama Brawijaya sendiri diyakini berasal dari kata Bhra Wijaya, singkatan dari Bhatara Wijaya.
Suma Oriental tulisan Tome Pires memberitakan, pada 1513 ada seorang raja bernama Batara Vigiaya yang bertakhta di Dayo, namun pemerintahannya dikendalikan oleh Pate Amdura. Batara Vigiaya merupakan ejaan Portugis untuk Batara Wijaya, sedangkan Dayo dapat ditujukan pada Daha. Prasasti Jiyu memberikan informasi bahwa Daha pada 1486 diperintah oleh Dyah Ranawijaya. Dengan kata lain, Batara Wijaya alias Brawijaya merupakan nama lain dari Dyah Ranawijaya, yang ternyata pada tahun 1513 memerintah di Daha. Identifikasi Brawijaya dengan Ranawijaya cukup masuk akal, karena Ranawijaya juga merupakan raja Majapahit yang memerintah di Daha (Dayo menurut Pires). Berita lain adalah Babad Sengkala yang membeberkan bahwa pada 1527 Daha dikalahkan oleh Demak.
Kemungkinan besar, ingatan masyarakat tentang kekalahan Majapahit yang berpusat di Daha pada 1527, bercampur dengan peristiwa runtuhnya Majapahit yang berpusat di Mojokerto tahun 1478. Akibatnya, Bhre Wijaya yang merupakan raja terakhir tahun 1527 oleh para penulis babad “diposisikan” sebagai Brawijaya yang memerintah hingga 1478. Akibatnya yang lain, tokoh Brawijaya pun sering disamakan dengan Bhre atau Bhra Kertabhumi, yaitu raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1474-1478. Padahal, tidak ada bukti sejarah yang menyebutkan bahwa Bhre Kertabhumi adalah Brawijaya.
Kronik Sam Po Kong menjelaskan bahwa Pa-bu-ta-la alias Ranawijaya adalah menantu Kung-ta-bu-mi alias Bhre Kertabhumi yang diangkat oleh Raden Patah sebagai bupati (Majapahit) bawahan Demak. ada yang berpendapat bahwa Ranawijaya menjadi penguasa Kediri atas usahanya sendiri, yaitu dengan mengalahkan penguasa Majapahit Bhre Kertabumi tahun 1478. Pendapat ini diperkuat oleh Prasasti Petak yang mengatakan bahwa keluarga Girindrawardhana pernah berperang melawan Majapahit. Dengan begitu, peperangan yang terjadi pada 1478 adalah peperangan antara keluarga Girindrawardhana dengan Majapahit, sesuai dengan berita Prasasti Petak. Jadi, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (Bhatara Wijaya) berperang melawan Bhre Kertabhumi, di mana Dyah Ranawijaya berhasil menguasai Majapahit.
Pada umumnya, perang antara Majapahit lawan Demak dalam naskah babad dan serat hanya dikisahkan terjadi sekali, yaitu 1478. Perang ini terkenal sebagai "Perang Sudarma Wisuta", artinya perang antara ayah melawan anak, yaitu Brawijaya melawan Raden Patah. Terlebih dulu pasukan Demak menyerang Tuban, pelabuhan Kediri dan Majapahit, pada 1527. Setelah itu, Kediri (Daha) yang diperintah Dyah Ranawijaya (Batara Wijaya) diserang dan jatuh ke tangan Demak. Serat Kanda mengisahkan, setelah Daha jatuh Dyah Ranawijaya melarikan diri ke Bali—yang sayang tak didukung oleh satu prasasti pun. Runtuhnya Kediri pada 1527, menurut Muljana, lalu disusul berdirinya Kerajaan Hindu di Panarukan yang mengirim utusannya ke Malaka pada tahun 1528 guna mendapat dukungan orang-orang Portugis. Kerajaan Panarukan yang mungkin dipimpin Dyah Ranawijaya bisa dianggap sebagai kelanjutan Kediri.
Perlu diuraikan di sini mengenai kronik Sam Po Kong. Pada 1475, sekitar 1.000 tentara Demak pimpinan Jin Bun menyerang Semarang. Ia menaklukkan Semarang lalu bergerak menuju Klenteng Sam Po Kong yang ada di kota itu. Jin Bun memerintah pada pasukannya agar jangan menghancurkan klenteng itu, karena sebelumnya Sam Po Kong merupakan sebuah masjid yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa Muslim dari daratan Tiongkok yang bermahzab Hanafi. Namun, setelah kekuasaan Dinasti Ming di Tiongkok melemah. Sejak armada Dinasti Ming tak lagi singgah di Semarang, hubungan orang-orang Tionghoa Muslim dengan sanak saudara mereka di Tiongkok terhenti. Satu persatu masjid di Semarang dan Lasem, yang dibangun pada masa Laksamana Cheng Ho, berubah fungsi menjadi klenteng. Selain tak menghancurkan Sam Po Kong, Jin Bun juga tak memaksa agar orang-orang Tionghoa yang non-Muslim untuk memeluk Islam. Kebaikan hati Jin Bun tersebut disambut orang-orang Tionghoa non-Musli dengan janji bahwa mereka akan setia pada Demak dan tunduk pada hukum Demak yang Islam.
Lima abad kemudian, Residen Poortman pada tahun 1928 mendapatkan tugas dari pemerintah kolonial untuk menyelidiki: apakah benar Raden Patah itu orang Tionghoa tulen. Poortman pun menggeledah kelentang Sam Po Kong lalu menyita naskah berbahasa Tionghoa sebanyak tiga pedati, lalu dibawa oleh Poortman ke Institut Indoologi di Negeri Belanda. Atas permintaan Poortman, hasil penelitiannya atas naskah Klenteng Sam Po Kong diberi tanda GZG, singkatan Geheim Zeer Geheim alias naskah yang sangat rahasia dan hanya boleh dibaca di kantor, dan tidak sembarang orang boleh membacanya. Dengan begitu, yang boleh melihatnya hanyalah Perdana Menteri Colijn, Gubernur Jenderal, Menteri Jajahan, dan pegawai arsip negara di Rijswijk di Den Haag. Menurut Muljana, hasil penelitian terhadap kronik Sam Po Kong itu itu hanya dicetak lima eksemplar, dan tidak satu pun berada di Jakarta.
Arsip Poortman ini kemudian dikutip oleh Mangaraja Onggang Parlindungan yang menulis buku kontrovelsial Tuanku Rao yang terbit pada 1964. Parlindungan memiliki hubungan dekat dengan Poortman saat ia menuntut ilmu di sekolah tinggi teknologi di Delft, maka itu dapat menyalinnya.
Slamet Muljana yang menulis buku berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, banyak mengutip buku Tuanku Rao. Buku Muljana—guru besar di Universitas Indonesia—yang terbit tahun 1968 juga menimbulkan kontroversi. Pemerintah Orde Baru pada 1971 melarang peredaran buku tersebut. Rupanya teori bahwa pendiri Demak (dan juga delapan dari Sembilan Wali Songo) adalah orang Tionghoa membuat pemerintah Soeharto gerah. Ditambah ketika itu pemeirntah Orde Baru baru saja selesai “mengamankan” negara dari gerakan komunis yang dianggap bahaya laten.
0 comments:
Post a Comment
Setelah membaca artikel ICO, kami harap memberikan sedikit ulasan tapi bukan SPAM. Terimakasih, Salam Harmoni INSICO