Pemerintahan Raden Patah di Demak
Berdasarkan BTJ, setelah menjabat sebagai raja Demak yang pertama, Raden Patah bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Ada pun menurut Serat Pranitiradya, ia bergelar Sultan Syah Alam Akbar. Nama Patah sendiri berasal dari kata Arab, al-Fatah, artinya “Sang Pembuka”, sebagai gambaran bahwa ia adalah pembuka kerajaan bersorak Islam di Jawa. Pemakaian gelar sultan belum menjadi tradisi pada masa Raden Patah, karena, menurut Lombard, pemakaian gelar sultan untuk raja-raja Jawa baru dimulai pada tahun 1524, yakni pada masa Trenggana menjadi penguasa Demak (sementara penguasa Malaka telah memakai gelar itu kira-kira sejak 1456).
Pada 1479 Raden Patah meresmikan Masjid Agung Bintoro di Demak sebagai pusat pemerintahan. Ia juga memperkenalkan pemakaian kitab Salokantara sebagai pegangan undang-undang kerajaan (ada pula yang beranggapan bahwa Salokantara dibuat oleh Trenggana, anak Raden Patah). Kitab ini kini sudah raib tak jelas rimbanya. Sikap Raden Patah kepada umat beragam lain pun sangat toleran. Misalnya, kuil Sam Po Kong tetap berfungsi sebagai kelenteng warga Cina. Suma Oriental memberitakan bahwa pada 1507 Pate Rodin Sr. alias Raden Patah meresmikan Masjid Agung Demak yang baru saja diperbaiki.
Raden Patah juga tidak memerangi umat lain yang juga mayoritas, Hindu dan Buddha, sebagaimana wasiat Sunan Ngampel, gurunya. Walau sebelumnya, seperti yang tertera dalam babad dan serat, memberitakan ia menyerang Majapahit, hal tersebut dilatarbelakangi persaingan politik dalam menguasai Jawa, bukan karena sentimen agama. Lagi pula, BTJ dan Serat Kanda memberitakan bahwa pihak Majapahitlah yang lebih dulu menyerang Giri Kedaton, sekutu Demak di Gresik.
Suma Oriental mengisahkan bahwa pada 1512, menantu Pate Raden, yakni Pate Unus Bupati Jepara, menyerang benteng Portugis di Malaka. Tokoh Pate Unus ini identik dengan tokoh Yat Sun dalam kronik Cina, yang diberitakan menyerang bangsa asing di Moa-lok-sa tahun 1512. Perbedaannya hanyalah bahwa Pate Unus merupakan menantu Pate Rodin Sr. (menurut Pires), sedangkan Yat Sun adalah putra Jin Bun (menurut kronik Cina). Baik sumber Portugis maupun sumber Cina sama-sama menyebutkan bahwa armada Demak hancur dalam pertempuran di Selat Malaka itu.
Menurut kronik Sam Po Kong, Jin Bun wafat pada 1518 dalam usia 63 tahun. Ia lalu digantikan oleh Yat Sun, yang dalam BTJ bergelar Pangeran Sabrang Lor.
Menurut babad dan serat, Raden Patah memiliki tiga istri. Pertama adalah putri Sunan Ngampel, yang menjadi permaisuri, melahirkan Raden Surya dan Raden Trenggana, yang masing-masing kemudian naik takhta, bergelar Pangeran Sabrang Lord an Sultan Trenggana. Istri yang kedua berasal dari Randu Sanga, yang melahirkan Raden Kanduruwan. Raden Kanduruwan pada masa pemerintahan Sultan Trenggana berhasil menaklukkan Sumenep di Madura. Istri yang ketiga adalah putri bupati Jipang, yang melahirkan Raden Kikin dan Ratu Mas Nyawa. Setelah Pangeran Sabrang Lor wafat tahun 1521, Raden Kikin dan Raden Trenggana bersiteru memperebutkan takhta Demak. Raden Kikin akhirnya dibunuh oleh keponakannya sendiri, yaitu putra sulung Raden Trenggana yang bernama Raden Mukmin alias Sunan Prawotoi, di tepi sungai. Maka dari itu, Raden Kikin dijuluki “Pangeran Sekar Seda ing Lepen”, yang berarti bunga yang gugur di sungai.
Sementara itu, kronik Cina menyebutkan dua orang putra Jin Bun, yaitu Yat Sun (Pate Unus/Sabrang Lor) dan Tung-ka-lo (Trenggana). Suma Oriental menyebutkan bahwa Pate Rodin memiliki putra yang bernama Pate Rodin Junior, dan seorang menantu bernama Pate Unus. Tulisan Pires ini menyebutkan bahwa usia Pate Rodin Jr. lebih tua daripada Pate Unus. Dengan kalimat lain dapat kita tafsirkan bahwa Sultan Trenggana merupakan kakak ipar Pangeran Sabrang Lor.
Info Lengkapkunjungi di sini
0 comments:
Post a Comment
Setelah membaca artikel ICO, kami harap memberikan sedikit ulasan tapi bukan SPAM. Terimakasih, Salam Harmoni INSICO