sal-usul Raden Patah dalam Tradisi Babad, Serat, dan Kronik Cina
Nama Raden Patah terdapat dalam Babab Tanah Jawi (selanjutnya ditulis BTJ, disusun pada masa pemerintahan Paku Buwono I yang menjadi Sunan Mataram hingga 1719). Menurut BTJ, Raden Patah adalah putra Brawijaya, raja terakhir Majapahit dari seorang selir dari negeri Campa. Menurut Serat Kanda, putri Campa (kini termasuk wilayah Kamboja) ini dinikahi oleh Brawijaya ketika Brawijaya masih menjadi putra mahkota—belum menjadi raja Majapahit. Sang permaisuri Raja, yaitu Ratu Dwarawati, merasa cemburu terhadap putri Campa itu. Untuk menghindari kemungkinan buruk, Raja Brawijaya memberikan selir Campanya itu kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar Bupati Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah, putri Campa itu dinikahi Arya Damar, yang kemudian melahirkan Raden Kusen. Dalam Serat Kanda Raden Patah bergelar Panembahan Jimbun, dan dalam BTJ disebut sebagai Senopati Jimbun.
BTJ menyebut nama kecil Raden Patah: Jim Bun, sebuah nama yang sangat kental aroma Tionghoa. Fakta bahwa Raden Patah keturunan Cina, dalam hal ini Campa, diperkuat oleh kronik Cina dari kuil Sam Po Kong (kuil di Semarang yang didirikan sebagai penghormatan terhadap Zheng He atau Cheng Ho), yang menurut kronik itu nama Raden Patah adalah Jin Bun, putra Kung-ta-bu-mi (ejaan Cina untuk [Bhre] Kertabumi) dari selir Cina. Nama Bhre Kertabumi sendiri tercantum dalam Pararaton sebagai raja Majapahit. Kemudian selir Cina itu diberikan kepada seorang peranakan Cina bernama Swan Liong di Palembang. Dari perkawinan dengan Swan Liong itu lahir seorang anak bernama Kin San. Kronik Sam Po Kong mengabarkan bahwa Jin Bun lahir pada tahun 1455 M, kemungkinan besar sebelum Bhre Kertabumi menjabat sebagai raja Majapahit (ia memerintah antara 1474-1478).
Dalam Sajarah Banten disebutkan bahwa pendiri Kesultanan Demak benama Cu Cu, putra seorang mantan perdana menteri Cina yang bermigrasi ke Jawa. Kakeknya bernama Cek Ko Po. Dikisahkan, Cu Cu mengabdi kepada Majapahit dan berhasil memadamkan pemberontakan Arya Dilah Bupati Palembang. Di sini terdapat pemberitaan yang berbeda antara Sajarah Banten dengan BTJ. BTJ memerikan bahwa Arya Dilah merupakan nama lain Arya Damar, ayah tiri dan ayah angkat Raden Patah. Menurut Sajarah Banten, berkat jasa-jasanya, Cu Cu menjadi menantu raja Majapahit dan dijadikan Bupati Demak dengan gelar Arya Sumangsang. Sedangkan menurut Tome Pires dalam Suma Oriental, pendiri Demak adalah Pate Rodin Senior, cucu seorang warga di Gresik.
Ada pun keberadaan “putri Campa”, ibu Raden Patah dan Raden Kusen, itu didukung oleh pustaka Purwaka Caruban Nagari. Menurut naskah dari Cirebon itu, nama asli selir Cina adalah Siu Ban Ci, putri dari pasangan Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat sendiri merupakan saudagar sekaligus ulama yang bergelar Syekh Bantong.
Kendati banyak versi yang membicarakan asal usul Raden Patah, namun semua naskah dan kronik itu sepakat bahwa pendiri Kesultanan Demak itu bersangkut paut dengan empat nama: Majapahit, Palembang, Cina, dan Gresik.
Menurut BTJ dan Serat Kanda, Raden Patah lahir di Palembang pada 1455 M dengan nama Pangeran Jimbun—sebuah nama atau dialek Cina. Selama 20 tahun, Jimbun hidup di kediaman adipati Majapahit di Palembang, Arya Damar. Setelah beranjak dewasa, Jimbun kembali ke Majapahit. Oleh orangtuanya, Raden Patah dikirim kepada Raden Rahmat atau Sunan Ngampel (Ampel) Denta di Surabaya untuk belajar Islam. Ia mempelajari pendidikan Islam bersama murid-murid Sunan Ampel yang lainnya: Raden Paku (Sunan Giri), Maulana Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Qasim (Sunan Derajat).
Raden Patah dinikahkan dengan cucu Raden Rahmat, Nyi Ageng Maloka. Selanjutnya ia dipercaya untuk menyebarkan Islam di Desa Bintoro dengan diiringi oleh Arya Dilah (Ki Dilah), disertai oleh 200 pasukannya.
Menurut Lombard (2008, 44), Raden Patah merupakan pendiri kantor dagang di Demak, sebuah pelabuhan di pesisir Jawa yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang, di sekat Gunung Muria. Ia berasal dari Cina, mula-mula menetap di Gresik, lalu pindah ke Demak.
Menurut Tome Pires yang singgah di pelabuhan Demak, Demak memiliki hingga 40 jung dan telah meluaskan kewibawaannya sampai ke Palembang, Jambi, “pulau-pulau Menamby dan sejumlah besar pulau lain di depan Tanjung Pura”, yaitu Bangka (di mana terdapat Pegunungan Menumbing) dan Belitung. Saat itu di Demak terdapat tak kurang dari “delapan hingga sepuluh ribu rumah” dan tanah sekelilingnya menghasillkan beras berlimpah-limpah, yang sebagian untuk diekspor ke Malaka.
Menurut penjelajah Portugis itu, Demak (dan Rembang) terkenal dengan galangan-galangan kapalnya. Kapal-kapal dibuat dari kayu jati yang banyak tumbuh di wilayah pesisir Jawa Tengah dan Timur waktu itu. Demak juga dikelilingi beberapa kota-pelabuhan tempat terjadi perniagaan besar: Juwana, Pati, Rembang, Jepara, dan Semarang (yang ketika itu penduduknya berkisar sekitar 3.000 kepala). “Pedagang yang punya uang datang ke sana untuk dibuatkan jung,” begitu tulis Pires.
0 comments:
Post a Comment
Setelah membaca artikel ICO, kami harap memberikan sedikit ulasan tapi bukan SPAM. Terimakasih, Salam Harmoni INSICO