September 16, 2010

Budaya Lebaran Ketupat

Setelah satu bulan penuh berpuasa Tentu hari kemenangan bagi masyarakat muslim ini telah dinanti-nantikan. Lebaran, dari kata lebar yang berarti selesai. Ini dimaksudkan bahwa 1 Syawal adalah tanda selesainya menjalani puasa, maka 1 Syawal biasa disebut dengan Lebaran. Mengenai Lebaran, ada satu tradisi yang tidak pernah ditinggalkan oleh orang Indonesia, yaitu ketupat. Lebaran tanpa ketupat ibarat seperti sayur tanpa garam, terasa hambar manakala makanan yang satu ini tidak ikut memeriahkan suasana kembalinya kita ke ke fitrian, fitrah sebagai manusia pada mula dicipta.


Masyarakat Jawa tentu mengenal jenis makanan ketupat ini, yang dalam bahasa Jawa disebut kupat. Ketupat adalah makanan yang dibuat dari beras dan dimasukkan ke dalam anyaman pucuk daun kelapa (janur) berbentuk kantong, kemudian ditanak dan dimakan sebagai pengganti nasi.


Ungkapan Budaya Ternyata ketupat itu memiliki asal usul dan filosofi mengenai budaya ketimuran di Indonesia. Ketupat sebagai karya budaya dikaitkan dengan suatu hasil dengan beraneka macam bentuk. Sedang ketupat sebagai ungkapan budaya adalah merupakan simbol yang di dalamnya terkandung manka dan pesan tentang kebaikan. Sebagai ungkapan budaya, ketupat antara lain memberikan makna dan pesan.


Misalnya, salah satu maknanya adalah, bahwa ketupat terdiri dari beras yang dibungkus janur, Nah, beras itu ternyata adalah simbol nafsu dunia. Sedangkan janur, dalam bahasa Jawa adalah akronim dari jatining nurí atau bisa diartikan hati nurani. Jadi ketupat adalah simbolik dari nafsu dunia yang dapat ditutupi oleh hati nurani. Pesan yang terkandung, kira-kira adalah setiap orang itu harus bisa mengendalikan diri, yaitu menutupi nafsu-nafsu dunia dengan hati nurani.


Dalam filosofi Jawa yang lain, kupat berarti ëngaku lepatí atau mengakui kesalahan. Tindakan ëngaku lepatí ini jadi kebiasaan yang sekarang selalu kita lakukan pada tanggal 1 syawal, yaitu bermaaf-maafan dengan keluarga atau tetangga dan teman-teman. Masih dari filosofinya orang Jawa, kupat erat kaitannya dengan tanggal 1 syawal. Kupat disini dapat diartikan dengan laku papatí atau empat tindakan. Laku papat itu adalah lebaran, luberan, leburan dan laburan.


Maksud dari keempat tindakan tersebut, yang pertama, lebaran, dari kata lebar yang berarti selesai. Ini dimaksudkan bahwa 1 Syawal adalah tanda selesainya menjalani puasa, maka tanggal itu biasa disebut dengan Lebaran.


Lalu luberan, berarti melimpah, ibarat air dalam tempayan, isinya melimpah, sehingga tumpah ke bawah. Ini simbol yang memberikan pesan untuk memberikan sebagian hartanya kepada fakir miskin, yaitu sodaqoh dengan ikhlas seperti tumpahnya/lubernya air dari tempayan tersebut.


Kemudian, leburan, maksudnya adalah bahwa semua kesalahan dapat lebur (habis) dan lepas serta dapat dimaafkan pada hari tersebut.


Yang terakhir adalah laburan. Di Jawa, labur (kapur) adalah bahan untuk memutihkan dinding. Ini sebagai simbol yang memberikan pesan untuk senantiasa menjaga kebersihan diri lahir dan batin.


Selain itu, ada lagi tradisi unik yang kini sudah sangat jarang ditemukan. Selain simbol maaf, ada yang percaya kalau ketupat dapat menolak bala. Caranya dengan menggantungkan ketupat yang sudah matang di atas kusen pintu depan rumah. Tapi tradisi menggantungkan ketupat yang kental nuansa mistisnya ini, kini sudah sangat jarang ditemukan. Percaya atau tidak, tapi itulah filosofi dan tradisi dari budaya Indonesia.


Ketupat juga bias sebagai simbol, secara historis ketupat lahir dari sebuah pergulatan kebudayaan pesisiran. Sumber dari Malay Annal (1912) oleh HJ de Graaf menyebutkan, kupat atau ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang dipimpin Raden Fatah pada awal abad ke-15. Bungkus ketupat dipilih dari janur. De Graaf menduga-duga secara antropologis bahwa hal itu berfungsi sebagai identitas budaya pesisiran karena pohon kelapa kebanyakan tumbuh di dataran rendah. Selain itu, warna kuning memberi arti khas untuk membedakan dari warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari Asia Timur.


Kupat yang kita lihat adalah anyaman janur kuning yang menggambarkan jalinan silaturrahmi yang erat, saling membungkus, dan saling menguatkan. Semacam simbol pentingnya persatuan dan kesatuan. menurut Saya, janur kuning, daun kelapa muda, juga berarti simbol perlunya mempermuda, terus memperbarui jalinan silaturrahmi agar tidak lekas menua dalam pengertian menjadi rapuh dan lemah. Sebab, rapuh dan lemahnya silaturrahmi adalah embrio keterpecahan baik individual maupun kolektif. Dan ini berbahaya bagi kelangsungan hidup kita.


Kita beruntung memiliki perayaan Idul Fitri. Kita juga diuntungkan dengan tradisi dan budaya kupat atau ketupat dengan simbolisasinya. Karena Kupat bisa menjelaskan Hakikat Idul Fitri dengan mengangkat dan mengharagai budaya lokal. Kita tidak harus alergi dengan simbol darimanapun itu asalnya. Sebab, dalam simbol, kita bisa menguak makna tanpa kehilangan esensinya.


Ketupat merupakan tradisi dan makanan khas Indonesia, karena itu sulit untuk ditemui pada tardisi-tradisi umat Islam selain Indonesia.


Selama ini, kita baru tahu dari kajian antropologi struktural Claude Levi-Strauss tentang hubungan makanan dan kebudayaan. Buku Myth and Meaning (1978) mampu menjelaskan hasil-hasil kajiannya tentang kode-kode kebudayaan melalui makanan tertentu yang dipilih sebuah suku. Raymond Thallis (1996) meneliti hubungan antara makanan, pembentukan kosakata, dan identitas kebudayaan. Sebagai contoh, dibandingkan dengan Barat yang minim, kekayaan kosakata untuk buah kelapa kecil sampai tua menunjukkan, kebudayaan Indonesia amat terkait dengan lingkungan pantai tempat pohon kelapa tumbuh.


Berdasar perspektif itu, tidak sulit dipahami adanya menu makanan yang berbeda untuk mengenang aneka peristiwa penting dalam hidup manusia. Kelahiran bayi ditandai menu makanan dari dedaunan hijau dan biji-bijian. Bayi itu tumbuh dan saat menyelesaikan hal-hal penting dalam fase kehidupan, acara selamatan akan digelar dengan menu makanan yang berasal dari pasar. Masyarakat kebanyakan menyebut jajan pasar.


Saat dewasa, seorang individu menyatakan lamaran dengan bahan makanan yang penuh simbol. Tebu, hasil palawija, kelapa, dan makanan pokok ditata di ruang tamu. Manakala saatnya tiba sebuah keluarga kecil sudah mampu membuat rumah, maka topping off ditandai makanan simbolik yang diletakkan di ketinggian. Padi dan ketela untuk kemakmuran, kelapa untuk kekuatan, bubur merah dan putih untuk keseimbangan, dan bendera Merah-Putih sebagai identitas kebangsaan. Akhirnya kematian ditandai dengan nasi tumpeng dibelah dua.


Konfirmasi atas fakta-fakta itu hendak membuktikan betapa eksistensi makanan ketupat dalam kultur masyarakat Indonesia tidak dapat diabaikan. Bila kita meminjam perangkat metode semiologi Charles Sanders Peirce, proses produksi pemaknaan ketupat dapat dilihat sebagai ikon, lambang, dan simbol. Ikon adalah penunjuk langsung; lambang adalah proses pengangkatan ikon ke dalam norma-norma keseharian; simbol adalah lapis pemaknaan reflektif atas lambang yang terkait struktur kebudayaan.


Sebagai ikon, ketupat dideskripsikan sebagai makanan berbahan beras yang dibungkus daun muda pohon kelapa atau janur. Tidak setiap orang mampu membuat anyaman janur sebagai wadah beras. Ikonografis ketupat lalu dimunculkan sebagai romantisme menyambut Lebaran.


Sebagai lambang, ketupat memberi arti penting dalam proses perayaan. Sebagai bukti, sebagian masyarakat pesisir Jawa membagi perayaan Lebaran menjadi dua, Idul Fitri dan Lebaran Ketupat. Idul Fitri jatuh 1 Syawal, sedangkan Lebaran Ketupat adalah satu minggu setelahnya (7 Syawal). Ketupat tidak ada dalam Idul Fitri karena hanya hadir dalam Lebaran Ketupat.


Sebagai simbol, secara historis ketupat lahir dari sebuah pergulatan kebudayaan pesisiran. Sumber dari Malay Annal (1912) oleh HJ de Graaf menyebutkan, ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang dipimpin Raden Fatah pada awal abad ke-15.


Bungkus ketupat dipilih dari janur. De Graaf menduga-duga secara antropologis bahwa hal itu berfungsi sebagai identitas budaya pesisiran karena pohon kelapa kebanyakan tumbuh di dataran rendah. Selain itu, warna kuning memberi arti khas untuk membedakan dari warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari Asia Timur.


Kebiasaan berkunjung dan bersalaman bisa dijelaskan melalui etimologi kata ketupat, yakni kupat (Jw). Para frase kupat adalah ngaku lepat, mengaku bersalah. Kata itu menuntut kita menghilangkan rasa benci, tersinggung, dan introspeksi diri agar bisa saling memaafkan. Ketupat membimbing manusia pada fase pemahaman paling ultim tentang hakikat manusia.


Kini, budaya ketupat tidak bisa tergantikan. Memang ada gambar ketupat di kartu pos, e-mail, SMS, MMS, dan aneka jejaring sosial. Namun, karena makan ketupat itu tidak bisa secara virtual, ketupat mengundang kita untuk hadir, bertatap muka, saling bercerita. Kita disadarkan, betapa kehidupan sehari-hari menjauhkan kita dari keluarga, kerabat, dan sahabat. Kita menjadi makhluk asing yang terlempar dari budaya ketupat.


Tuhan Maha Pemaaf dan Pengampun. Sebagai mahluk-Nya, sudah sewajarnya kita menjadi manusia pemaaf. Ada banyak keindahan dalam tradisi saling memaafkan. Selamat Idul Fitri 1431 H, Taqoballahu minna wa minkum. Ja’alnaallahku waiyyakum minal aizin wal faizin, Mohon Maaf Lahir Batin. (dari berbagai sumber)


Download Budaya Lebaran Ketupat doc




Artikel Terkait INSICO:

0 comments:

Post a Comment

Setelah membaca artikel ICO, kami harap memberikan sedikit ulasan tapi bukan SPAM. Terimakasih, Salam Harmoni INSICO

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More