Idul Fitri atau edul Fithri adalah sebuah kalimat berbahasa Arab yang terdiri dari dua kata yaitu "Ied" (hari raya) dan Fithri (fitrah, atau suci). "Ied" lahir dari sebuah kata kerja 'aada (past tense), ya'uudu (present tense), dan 'audat (atau 'audah, sebagai kata dasar) yang artinya "kembali". Orang-orang yang sering mengulang-ulang kembali perbuatan atau perilaku yang sama sering disebut menjadi 'adat, alias "tradisi". Dalam kamus "Mukthar Al-Shohhah" karya monumental Muhammad bin Abu Bakar Al Rozi, kosa kata.ini masuk dalam urutan huruf 'ain. Kata 'aada-ya'uudu-'audat di atas menginduk pada nenek moyangnya yaitu 'a-wa-da, yang terdiri dari 'Ain, Wau dan Dal, alias tiga huruf doang. Kalau fi'il terdiri dari tiga huruf doang dalam literatur morfologi Arab disebut dengan "Fi'il Tsulatsi Mujarrod". Fi'il artinya kata kerja, tsulatsi artinya tiga, Mujarrod artinya pokok. Sedangkan arti "pokok" di sini maksudnya adalah "terhindar dari segala (godaan) tambahan atau denga kata lain pokok kata".
Permasalahannya orang Arab itu alergi menjumpai huruf Wau di tengah-tengah kata, terlebih lagi ketiga-tiganya beraksi dengan memasang harakat fathah. Bayangkan, masa baca 'a-wa-da! Huruf Wau, menurut para pakar bahasa Arab, adalah virus berbahaya yang mengancam eksistensi kelezatan "morfen" (bersuara). Wau mempunyai gank bernama Alif dan Ya. Saking takutnya orang Arab menggunakan tiga huruf ini dengan harakat yang diucapkan beruntun (harakah mutawaliyah), mereka menamakannya Al-Ahruf Al-'illatiyah (huruf-huruf berpenyakit). Karena itu para pakar bahasa bermusyawarah bagaimana mengatasi sulitnya menjinakkan huruf Wau ini. Akhirnya mereka mufakat untuk melenyapkan Wau. Lalu alif yang menggantikan posisi Waua. Tapi, ya karena alif diklaim punya penyakit, akhirnya dia dimatikan saja, tidak berharkat. Maka jadilah 'aada (pada fi'il madhi), bukan 'aawada lagi! Anehnya pada fi'il mudhori dan masdar, huruf Wau dikembalikan lagi ke tempatnya, menjadi "ya'uwdu" (fi'il mudhori), "awdatan" (masdar). Tak apalah, biar pun mengandung penyakit, agar misi keindahan efek suara berlangsung sukses, huruf-huruf itu harus menemani harkat yang sesuai dengan fungsinya masing-masing:
- Kalau sebelumnya fathah harus ada Alif, biar baca A-nya lebih panjang: "aaaa".
- Kalau sebelumnya dhommah, harus ada Wau, biar baca U-nya lebih panjang: "uuu".
- Kalau sebelumnya kasrah, harus ada Ya, biar baca i-nya lebih panjang: "iii".
Di atas disinggung bahwa "Fi'il Tsulatsi Mujarrod" adalah fi'il yang terdiri dari tiga huruf pokok. Arti "doang" yang dimaksud " terhindar dari segala (godaan) tambahan atau denga kata lain pokok kata ".
Hanya saja Fi'il Tsulatsi Mujarrod kadangkala tak pernah kuat godaan. Karena, biasanya, dia terus saja bermetamorfosa menjadi kata kerja tambahan yang dalam ilmu shorof disebut "Fi'il Tsulatsi Mazid".
Mazid di sini maksudnya, ya, tambahan. Penambahannya cuma satu, yaitu: tasydid di tengah kata. Karena si Alif.tak pernah bisa menerima tasydid (penekanan), akhirnya -lagi-lagi- alif tersebut harus ditukar dengan huruf lain. Yang beruntung menggantikannya adalah temannya sendiri, yaitu: Ya. Maka jadilah AY-YA-DA. Prosesnya dimulai dari 'ayyada (fi'il madhi mazid), yu'ayyidu (fiil mudhori) kemudian ta'yiid (masdar), lalu ta'yidah, lalu ti'yaad, dan akhirnya 'ied (semuanya masdar). Waallahu a'lam.
Selamat Idul Fitri 1431 H, mohon maaf lahir batin ja'alnaallahu minal aidin wal faizin.
0 comments:
Post a Comment
Setelah membaca artikel ICO, kami harap memberikan sedikit ulasan tapi bukan SPAM. Terimakasih, Salam Harmoni INSICO