August 18, 2010

Malam Selikuran (malam 21 Ramadhan) Part 1

Sultan Agung Hanyokrokusumo menjadi raja pada tahun 1613 sampai mangkat (meninggal) tahun 1645, telah memberikan warna Islam di Keraton Mataram. Tradisi keislaman yang diwariskan para wali dipadukannya secara harmonis dengan tradisi Hindu-kejawen yang mengalir dalam darah orang Jawa.


Rangkaian tradisi menyambut malam Lailatulkadar (masyarakat Jawa menyebut malam selikuran) pada setiap Ramadan, adalah salah satu tradisi luhur yang diwariskan dan tetap lestari sampai kini.


Tradisi malam selikuran, yakni malam menjelang tanggal-tanggal gasal (ganjil) pada sepertiga terakhir bulan Ramadan, sampai sekarang tetap dilaksanakan di Keraton Surakarta maupun di masyarakat pedesaan wilayah Yogyakarta dan Surakarta.


Di Keraton Surakarta, tepat menjelang tanggal 21 Ramadan dilakukan prosesi Hajad Dalem selikuran. Prosesi tersebut berupa arak-arakan para ulama keraton, sentana dalem maupun abdi dalem Keraton Surakarta yang membawa sesaji dari keraton ke Taman Sriwedari. Di sepanjang perjalanan sejauh dua kilometer, para ulama melantunkan salawat dengan iringan rebana. Di barisan lain, para abdi dalem Keraton Surakarta yang membawa ting atau lampion warna-warni, meneriakkan ungkapan simbolik tong-tong-hik yang bermakna seruan kebaikan.


Dulu, upacara ritual malam selikuran dilaksanakan di kupel Segaran Sriwedari yang letaknya di puncak bukit kecil di tengah kolam. Di tempat itu, para ulama utusan Sunan Paku Buwono mengadakan kenduri. Para abdi dalem ulama memanjatkan doa dengan bahasa Arab dan bahasa Jawa, bagi keselamatan dan kesehatan Sunan, serta keselamatan keraton, yang dalam perkembangannya kini juga untuk keselamatan bangsa dan negara Indonesia. Setelah itu, hidangan kenduri yang ditempatkan di kotak-kotak kecil bernama ancak canthaka disantap bersama sambil tuguran.


Berbeda dengan upacara malam selikuran di Keraton Surakarta, masyarakat pedesaan yang masih akrab dengan tradisi dan adat Jawa menyambut malam Lailatulkadar secara bersahaja dan sarat makna paguyuban. Masyarakat desa menyelenggarakan ritual kenduri di rumah setiap keluarga. Kenduri dengan hidangan nasi dan lauk-pauk yang disebut rasulan, diadakan pada setiap malam tanggal gasal, yakni malam tanggal 21, 23, 25, 27, dan berakhir tanggal 29 Ramadan. Tempat kenduri pun bergantian dari satu keluarga ke keluarga lain dan berlangsung dalam lima putaran sampai habis tanggal gasal.


Seusai mengadakan kenduri yang biasanya dilaksanakan pada petang hari menjelang matahari terbenam, warga desa tidak langsung pulang. Mereka melakukan tirakatan dan tuguran sampai lewat tengah malam, menanti turunnya anugerah Allah SWT di malam Lailatulkadar. Kebanyakan masyarakat di desa-desa kawasan Wonogiri, Sukoharjo, Karanganyar dan lain-lain -- yang masih kukuh pada tradisi dan adat Jawa -- yakin anugerah yang turun pada tanggal gasal setelah hari ke-20 bulan Ramadan akan diterima seseorang tanpa diketahui siapa orangnya.


Harapan yang sangat besar kepada anugerah Allah SWT yang turun sebagai misteri di malam selikuran itulah, yang agaknya menjadi kekuatan pelestari tradisi ritual dan adat menyambut malam Lailatulkadar di masyarakat Jawa.




Artikel Terkait INSICO:

0 comments:

Post a Comment

Setelah membaca artikel ICO, kami harap memberikan sedikit ulasan tapi bukan SPAM. Terimakasih, Salam Harmoni INSICO

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More